Hujan menggigil, persis seperti malam itu, lima tahun lalu. Mei Lin berdiri di bawah atap pagoda tua, bayangan dirinya terpantul patah di genangan air. Aroma tanah basah membawa kembali ingatan tentang tangan hangat Han Wei, senyumnya yang dulu mampu membuat musim semi bersemi di hatinya. Dulu.
"Kau bilang waktu akan menyembuhkan, tapi waktu justru MENERTAWAKAN," bisiknya, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. Kata-kata itu, mantra pahit yang selalu ia ulang-ulang setiap kali rasa sakit itu menyeruak.
Han Wei. Nama itu bagai duri yang menghujam jantungnya. Ia ingat jelas malam itu. Malam pengkhianatan. Malam di mana semua kepercayaan dan cinta yang ia berikan hancur lebur di bawah cahaya rembulan yang kejam. Ia melihatnya, bersama wanita itu, di bawah pohon sakura yang sedang mekar sempurna. Sakura, simbol cinta abadi. Betapa ironis.
Lima tahun. Lima tahun ia berusaha mengubur dirinya dalam kesibukan, dalam ambisi yang membara. Ia membangun kerajaan bisnisnya dari nol, dengan tangan berdarah-darah dan hati yang membeku. Semua, untuk melupakan Han Wei. Tapi bayangannya selalu hadir, mengejek, menertawakan kebodohannya.
Sesosok pria mendekat, siluetnya samar di bawah keremangan lentera yang cahayanya nyaris padam. Itu Han Wei. Wajahnya menua, guratan penyesalan terpahat jelas di sana.
"Mei Lin..." Suaranya serak, penuh kerinduan.
Mei Lin menatapnya dingin. Matanya, dulu dipenuhi cinta dan kekaguman, kini hanya memancarkan kebencian yang membara.
"Apa yang kau inginkan?" tanyanya, suaranya setajam belati.
Han Wei menghela napas. "Aku... aku ingin meminta maaf. Aku tahu, aku telah menyakitimu. Tapi, percayalah, aku menyesalinya."
Mei Lin tertawa sinis. "Menyesal? MENYESAL katamu? Setelah lima tahun? Setelah kau menghancurkan hidupku?"
Ia melangkah mendekat, aroma parfumnya yang mahal menguar di udara. Ia menatap Han Wei tepat di matanya.
"Kau tahu, Han Wei, kau benar. Waktu memang tidak menyembuhkan. Waktu hanya memberiku kesempatan untuk merencanakan sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit yang kau berikan padaku."
Han Wei mundur selangkah. "Apa maksudmu?"
Mei Lin tersenyum, senyum yang tidak mencapai matanya. Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah cincin yang berkilau di bawah cahaya lentera. Cincin itu familiar. Sangat familiar. Cincin yang dulu diberikan wanita itu kepada Han Wei.
"Tahukah kau, Han Wei... WANITA ITU, DIA ADALAH ADIKKU."
You Might Also Like: 127 Review Sunscreen Lokal Ringan Cocok
0 Comments: