Air Mata yang Menjadi Doa Untuk Musuh Embun pagi membasahi kelopak magnolia di taman belakang kediaman Li. Di balik jendela shoji yang be...

Kisah Seru: Air Mata Yang Menjadi Doa Untuk Musuh Kisah Seru: Air Mata Yang Menjadi Doa Untuk Musuh

Kisah Seru: Air Mata Yang Menjadi Doa Untuk Musuh

Kisah Seru: Air Mata Yang Menjadi Doa Untuk Musuh

Air Mata yang Menjadi Doa Untuk Musuh

Embun pagi membasahi kelopak magnolia di taman belakang kediaman Li. Di balik jendela shoji yang bergeser perlahan, terlihat sosok Mei Hua. Gaun sutra putihnya berkibar lembut, seirama dengan hembusan angin yang membawa aroma bunga plum. Matanya, sekelam malam tanpa bintang, menatap kosong pada kolam ikan koi yang tenang.

Tiga tahun. Tiga tahun sudah berlalu sejak malam itu. Malam ketika Suami yang dicintainya, Jenderal Zhao, ditemukan bersimbah darah di ruang kerjanya. Malam ketika semua menunjuk padanya sebagai pembunuh.

Mei Hua tahu siapa pembunuhnya. Dia tahu jelas siapa yang mengkhianati cintanya, mengkhianati kepercayaan Jenderal Zhao. Itu adalah Li Wei, sahabat terdekat Jenderal Zhao, sekaligus sepupunya. Li Wei, yang menyimpan obsesi terpendam pada Mei Hua.

Namun, Mei Hua memilih DIAM. Bukan karena ia lemah. Bukan karena ia takut. Melainkan karena rahasia yang ia simpan… Sebuah rahasia yang terikat sumpah darah dengan mendiang Jenderal Zhao. Sebuah rahasia yang jika terungkap, akan mengguncang Dinasti Ming hingga ke akarnya.

Air mata mengalir dari sudut matanya. Bukan air mata kesedihan semata, melainkan air mata penyesalan, air mata pengorbanan. Setiap tetesnya, ia panjatkan menjadi doa. Bukan doa kutukan, melainkan doa… untuk Li Wei.

Ia tahu, karma akan datang. Bukan dalam bentuk pedang yang menembus jantung, bukan dalam bentuk racun yang membakar kerongkongan. Karma baginya adalah takdir yang berputar, membalikkan kebaikan menjadi keburukan, dan sebaliknya.

Waktu berlalu. Li Wei, dengan licik dan kekuatannya, berhasil menduduki posisi penting di istana. Gelarnya semakin tinggi, hartanya semakin melimpah. Namun, di balik senyum palsunya, tersembunyi kegelisahan yang mendalam. Mimpi buruk menghantui tidurnya. Bisikan-bisikan tak jelas menusuk telinganya.

Suatu malam, saat badai menerjang kota, Li Wei menerima surat. Sebuah surat tanpa nama, hanya bertuliskan satu kalimat: "Ingatlah bunga Magnolia."

Jantung Li Wei berdebar kencang. Ia ingat. Ia ingat malam itu. Ia ingat aroma magnolia yang menyengat di ruang kerja Jenderal Zhao. Ia ingat… sesuatu yang ia sembunyikan di balik lukisan naga di dinding.

Dengan gemetar, ia membuka lukisan itu. Di baliknya, bukan surat wasiat, bukan harta karun, melainkan… sebuah jimat. Sebuah jimat tua dengan ukiran yang aneh, yang hanya bisa diaktifkan oleh keturunan darah naga.

Li Wei tidak tahu apa-apa tentang jimat itu. Ia hanya tahu bahwa jimat itu… hilang.

Di saat itulah, ia mengerti. Rahasia yang selama ini disimpan Mei Hua. Rahasia yang mengikat Jenderal Zhao pada dinasti. Rahasia tentang asal usul kekaisaran yang selama ini dianggap suci.

Ternyata, Jenderal Zhao adalah keturunan terakhir dari garis darah naga yang memiliki kekuatan untuk melindungi atau menghancurkan dinasti. Dan Li Wei, dengan membunuhnya, telah melepaskan kekuatan itu.

Kekuatan yang kini tengah berbalik menentangnya. Kekuatan yang akan menjungkirbalikkan takdirnya.

Berita tentang kebangkrutan Li Wei menyebar dengan cepat. Hartanya ludes dalam semalam. Gelarnya dicopot. Ia diasingkan ke perbatasan utara, hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.

Mei Hua, dari kejauhan, menyaksikan kejatuhan Li Wei dengan hati yang hancur. Ia tidak merasa puas, tidak merasa menang. Ia hanya merasa… kosong.

Di malam sepi, di bawah rembulan yang pucat, ia kembali memainkan guqin kesayangannya. Nada-nada lirih mengalun, mengiringi air matanya yang jatuh. Air mata yang kini menjadi doa yang tulus… untuk musuhnya.

Dulu, ia bertanya-tanya, apakah karma itu benar ada? Kini, ia tahu. Karma itu ada. Dan terkadang, karma datang dalam bentuk yang paling tak terduga: Sebuah takdir yang dipenuhi air mata, penyesalan, dan… pengampunan.

Dan bisikan angin malam membawa satu kalimat menggantung, "... Mungkin, kebencian yang paling mematikan adalah cinta yang tak terbalas. "

You Might Also Like: Dracin Terbaru Kaisar Itu Menangis Tapi

0 Comments: