Kau Menatapku dari Kehidupan Lain, Tapi Matamu Masih Sama
Panggung opera megah bergemuruh dengan tepuk tangan riuh. Gaunku satin berwarna emerald berkilauan di bawah sorot lampu. Aku, Lin Mei, si primadona malam ini, membungkuk anggun. Dari balkon VIP, sepasang mata menatapku. Mata itu… mata yang dulu kupuja. Mata milik Zhang Wei.
Senyumku merekah, palsu bagai berlian imitasi. Dulu, senyum ini hanya untuknya, tulus bagai embun pagi. Sekarang? Hanya topeng yang menutupi jurang dalam hatiku.
Lima tahun lalu, Zhang Wei adalah duniaku. Pelukannya terasa hangat, seperti mentari di musim semi. Tapi, mentari itu terbit untuk orang lain. Janjinya, yang dulu kuanggap abadi, berubah menjadi belati yang menusuk jantungku perlahan. Dia memilih posisi, kekuasaan, dan pewaris keluarga Liu. Dia memilih DIA.
Aku, Lin Mei, ditinggalkan di altar yang sunyi.
Aku menarik napas dalam. Opera selesai. Di belakang panggung, tatapan mata Zhang Wei masih terasa membakar punggungku. Aku bisa merasakan kehadiran pengkhianatan itu. Dulu, aku akan berlari ke arahnya, memeluknya erat. Sekarang, aku hanya mempercepat langkahku, menuju limusin yang sudah menunggu.
Malam demi malam, aku menyempurnakan penampilanku. Setiap nada, setiap gerakan, adalah simbol kebangkitanku. Aku bukan lagi Lin Mei yang rapuh. Aku adalah Lin Mei yang BERKUASA.
Aku mendengar bisikan tentang bagaimana Zhang Wei menyesal. Tentang bagaimana pernikahannya dengan pewaris Liu hambar bagai air putih. Tentang bagaimana dia merindukanku.
Ironis.
Suatu malam, aku menerima undangan makan malam pribadi dari keluarga Liu. Zhang Wei ada di sana, duduk di ujung meja, menatapku dengan tatapan yang dulu membuatku tergila-gila. Mata itu… mata yang sama. Tapi, kali ini, ada penyesalan yang terukir di sana.
Aku tersenyum padanya, senyum yang sama yang dulu dia puja. Senyum yang menipu.
Aku tidak menuntut uang. Aku tidak menuntut permintaan maaf. Aku hanya… tersenyum.
Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa perusahaan Liu bangkrut. Skandal demi skandal terkuak, mengungkap borok yang selama ini tersembunyi. Zhang Wei, sang pewaris impian, terpuruk dalam kehancuran.
Aku tidak tersenyum. Aku tidak tertawa. Aku hanya merasa… hampa.
Aku melihat Zhang Wei sekali lagi di pelelangan amal. Dia kurus, matanya cekung, dan aura ketampanannya lenyap. Dia menatapku dari kejauhan, dengan tatapan yang sama. Mata itu… mata yang masih sama. Mata yang kini dipenuhi penyesalan abadi.
Aku mengangkat gelas sampanyeku, memberi hormat diam-diam padanya. Bukan darah yang kutumpahkan, tapi penyesalan yang akan terus menghantuinya.
Aku berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Zhang Wei di kegelapan.
Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama… dan terkadang, sulit untuk membedakan keduanya.
You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama_28
0 Comments: