Kabut menggantung rendah di Pegunungan Wuyi, menyelimuti paviliun tua seperti kerudung duka. Aroma cendana bercampur dengan bau tanah basah, menciptakan suasana mistis yang membuat bulu kuduk meremang. Di tengah kabut itu, siluet seorang pria muncul. Pakaiannya lusuh, tapi tatapannya Tajam. Pria itu berjalan perlahan menuju paviliun, seolah hantu yang kembali dari masa lalu.
Di dalam paviliun, seorang wanita anggun duduk di depan meja teh. Wajahnya pucat, sorot matanya dingin. Ia adalah Nyonya Lian, janda dari mendiang Jenderal Zhao yang gugur sepuluh tahun lalu. Mendengar langkah kaki mendekat, ia mengangkat kepala.
"Zhao… Kau?" bisik Nyonya Lian, suaranya bergetar.
Pria itu tersenyum tipis. "Sepuluh tahun berlalu, Nyonya. Apakah kau merindukanku?"
"Mustahil! Jasadmu ditemukan di Lembah Seribu Mayat! Bagaimana mungkin…"
"Lembah itu menyimpan banyak rahasia, Nyonya. Termasuk bagaimana 'jasad' itu bisa ditemukan di sana," jawab pria itu, suaranya lembut namun menusuk.
Nyonya Lian berdiri, matanya berkilat marah. "Kau… kau kembali untuk apa? Untuk menuntut balas?"
Pria itu mendekat, mengelus pipi Nyonya Lian dengan lembut. "Balas dendam? Tidak, Nyonya. Aku kembali untuk menagih janji. Janji yang kau ukir di hatiku, janji tentang cinta abadi."
"Cinta? Setelah kau meninggalkanku? Setelah aku hidup dalam kesunyian dan duka selama sepuluh tahun?" Nyonya Lian menepis tangan pria itu.
"Aku tidak meninggalkanmu, Nyonya. Aku ditinggalkan. Ingatkah kau surat yang kau kirimkan kepadaku, tepat sebelum pertempuran di Lembah Seribu Mayat? Surat yang berisi permohonan maaf… karena kau telah mencintai orang lain?"
Nyonya Lian terdiam. Kabut semakin tebal di luar paviliun, mencerminkan kekacauan di benaknya.
"Aku menerima surat itu, Nyonya. Aku Menerimanya. Dan aku sadar, bahwa cinta abadi hanya ada dalam dongeng. Bahwa, terkadang, orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling pandai mengkhianati." Pria itu mendekat, berbisik di telinga Nyonya Lian. "Tahukah kau, Nyonya, bahwa surat itu adalah PERINTAH untuk mengakhiri nyawaku sendiri? Bahwa 'pertempuran' itu hanyalah sandiwara belaka?"
Nyonya Lian menatap pria itu dengan ngeri. "Kau… kau tahu?"
Pria itu tertawa pelan. "Aku memang hanya teks dalam surat itu, Nyonya. Tapi luka yang kau torehkan adalah NYATA. Dan luka itu membawaku kembali, bukan untuk membalas dendam, tapi untuk menyaksikanmu dihantui oleh kebenaran yang kau sembunyikan."
Pria itu berbalik dan berjalan menuju kabut. Sebelum menghilang, ia berbalik dan menatap Nyonya Lian dengan tatapan dingin.
"Kau pikir aku mati, Nyonya. Tapi sesungguhnya, kaulah yang mati di hari itu. Dan aku… aku hanya hidup untuk memastikan kau tidak pernah bisa melupakannya."
Nyonya Lian terpaku di tempatnya, air mata mengalir di pipinya. Akhirnya, ia mengerti. Pria yang dianggapnya korban selama ini, ternyata telah merencanakan segalanya. Ia telah memainkan peran sebagai hantu dengan sempurna, dan sekarang, ia telah berhasil menjebak Nyonya Lian dalam penjara penyesalan abadi.
Dan di balik tabir duka, di balik kabut tebal yang menyelimuti Pegunungan Wuyi, tersembunyi sebuah rahasia kelam: korban sejati tidak pernah benar-benar mati, dia hanya bersembunyi sampai saat yang tepat untuk menagih jiwa.
You Might Also Like: Unraveling Intricate Web Of Criminal
0 Comments: