Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-Katanya Tak Mau Mati Hujan gerimis membasahi atap paviliun, sama basahnya dengan air mata yang menggena...

Drama Populer: Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-katanya Tak Mau Mati Drama Populer: Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-katanya Tak Mau Mati

Drama Populer: Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-katanya Tak Mau Mati

Drama Populer: Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-katanya Tak Mau Mati

Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-Katanya Tak Mau Mati

Hujan gerimis membasahi atap paviliun, sama basahnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Di hadapanku, abu sisa perjanjian yang kubakar menari-nari ditiup angin malam. Perjanjian yang seharusnya mengikat takdir kita.

Aku, Lian, dan dia, Bai, tumbuh bersama di bawah naungan pohon persik yang sama. Saudara angkat, lebih dari sekadar teman, kami adalah bayangan satu sama lain. Bai, dengan senyumnya yang memikat dan kecerdasannya yang tajam, selalu selangkah di depan. Aku, dengan kesetiaanku yang buta dan pedang di tangan, selalu melindunginya.

Namun, di balik tawa dan janji setia, tersembunyi sebuah rahasia. Rahasia yang menggerogoti persahabatan kami, rahasia yang tertulis dalam perjanjian kuno yang kini menjadi abu.

"Kau yakin melakukan hal yang benar, Lian?" suara Bai memecah keheningan. Nada suaranya lembut, tapi matanya… matanya menyimpan badai yang siap meledak.

Aku menatapnya, berusaha mencari sisa-sisa Bai yang kukenal. "Perjanjian itu… adalah kutukan, Bai. Ia mengikat kita pada takdir yang bukan milik kita."

"Takdir? Atau kau hanya takut?" seringainya tipis, setajam belati. "Takut kekuatanku akan melampauimu? Takut posisimu di sisiku akan tergantikan?"

Kata-katanya bagai duri yang menghunjam jantungku. Selama ini, aku selalu menyangkalnya. Rasa iri yang diam-diam tumbuh subur di hatiku. Aku selalu berusaha menepisnya dengan alasan kesetiaan.

"Kau tahu itu tidak benar, Bai. Aku hanya ingin kita bebas!"

"Bebas? Bebas dariku?" tawanya berderai, hampa dan menyakitkan. "Kau pikir kau bisa lari dari takdir, Lian? Kau pikir dengan membakar perjanjian ini, semuanya akan berakhir?"

Malam itu, terungkaplah kebenaran yang pahit. Perjanjian itu bukan hanya sekadar janji setia, tapi sumpah darah. Bai dilahirkan dengan kekuatan terpendam, kekuatan yang seharusnya menjadi miliknya sepenuhnya. Namun, leluhurku, dengan tipu daya dan sihir terlarang, telah mencuri sebagian kekuatan itu dan membaginya denganku. Perjanjian itu adalah alat untuk menjaga keseimbangan, atau lebih tepatnya, untuk menahan Bai.

Aku, Lian, adalah pencuri. Aku adalah pengkhianat tanpa kusadari.

"Kau tahu, Lian," bisik Bai, mendekatiku. "Aku selalu menyayangimu. Kau adalah saudaraku. Tapi… kau adalah penghalangku."

Tangannya terangkat, bukan untuk memeluk, tapi untuk mencabut belati dari sarungnya. Kilatan perak memantulkan cahaya rembulan.

"Maafkan aku, Bai," ucapku lirih, air mata akhirnya tumpah. "Maafkan aku karena telah menjadi bebanmu."

Pertempuran terjadi dengan cepat dan brutal. Kami berdua sama-sama terluka, baik secara fisik maupun emosional. Di setiap tebasan pedang, di setiap desahan kesakitan, terucaplah kata-kata penyesalan, pengkhianatan, dan cinta yang terpendam.

Pada akhirnya, aku berlutut di hadapannya, pedangku patah dan tak berdaya. Bai berdiri tegak, belatinya berlumuran darah. Darahku.

"Kau tahu apa yang harus kulakukan, bukan, Lian?"

Aku mengangguk, memejamkan mata. Balas dendam adalah takdir yang tak terhindarkan. Kebenaran telah terungkap, dan aku siap menerimanya.

"Lakukanlah, Bai. Akhiri semua ini."

Hening. Hanya suara hujan yang semakin deras. Kemudian, sebuah bisikan lembut menyentuh telingaku.

"Aku memang menyayangimu, Lian. Tapi ambisiku... jauh lebih besar."


dan mungkin itu satu-satunya kebenaran yang pernah dia katakan.

You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Lokal

0 Comments: