Kau Memilih Hidup yang Benar, Tapi Jiwamu Tertinggal Padaku Seratus tahun. Seratus musim semi yang berguguran, seratus musim dingin yang m...

Cerpen Terbaru: Kau Memilih Hidup Yang Benar, Tapi Jiwamu Tertinggal Padaku Cerpen Terbaru: Kau Memilih Hidup Yang Benar, Tapi Jiwamu Tertinggal Padaku

Cerpen Terbaru: Kau Memilih Hidup Yang Benar, Tapi Jiwamu Tertinggal Padaku

Cerpen Terbaru: Kau Memilih Hidup Yang Benar, Tapi Jiwamu Tertinggal Padaku

Kau Memilih Hidup yang Benar, Tapi Jiwamu Tertinggal Padaku

Seratus tahun. Seratus musim semi yang berguguran, seratus musim dingin yang membekukan. Seratus tahun telah berlalu sejak dosa itu diperbuat, sejak janji itu diucapkan di bawah pohon wisteria yang kini hanya tinggal kenangan.

Lin Yue, seorang seniman kaligrafi muda dengan tangan selembut sutra dan mata setajam elang, selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Bukan harta, bukan ketenaran, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih esensial. Mimpi-mimpinya selalu dipenuhi bunga plum putih yang mekar di tengah badai salju, suara seruling yang memilukan, dan sepasang mata yang penuh penyesalan.

Di sisi lain kota, hiduplah Xuan Yi, seorang dokter bedah yang dingin dan efisien. Ia dikenal sebagai dewa pisau bedah, namun hatinya terasa hampa. Ia benci bunga plum, benci suara seruling, dan terutama, benci kenangan samar yang terus menghantuinya: seorang wanita berpakaian putih, air mata yang berkilauan, dan kata-kata pengkhianatan.

Pertemuan mereka terjadi di sebuah pameran seni. Lin Yue sedang memamerkan kaligrafi terbarunya, sebuah puisi tentang kesetiaan yang dilupakan. Ketika mata Xuan Yi menatap kaligrafi itu, sesuatu bergetar di dalam dirinya. Bukan kekaguman, tapi sebuah pengakuan yang mendalam, sebuah resonansi yang tak terjelaskan.

"Tulisanmu... terasa familiar," ucap Xuan Yi, suaranya serak.

Lin Yue menoleh, dan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti mengenal Xuan Yi sepanjang hidupnya, meskipun baru pertama kali bertemu. "Mungkin... kita pernah bertemu di kehidupan lain?" bisiknya, nyaris tak terdengar.


Sejak saat itu, hidup mereka terjalin erat. Bunga plum muncul di lukisan Lin Yue lebih sering dari biasanya. Xuan Yi mulai mendengar suara seruling di tengah malam, sebuah melodi yang memilukan dan familiar. Mereka berdua dihantui deja vu, potongan-potongan memori yang berkelebat – taman yang dipenuhi wisteria, pedang yang berkilauan di bawah rembulan, dan janji suci yang dilanggar.

Perlahan, misteri masa lalu mereka terkuak. Mereka adalah sepasang kekasih seratus tahun yang lalu. Lin Yue (dulu bernama Bai Lian) adalah putri seorang jenderal besar, sementara Xuan Yi (dulu bernama Ming Yu) adalah seorang tabib istana. Mereka saling mencintai dengan gila, berjanji untuk bersama selamanya. Namun, dosa Ming Yu adalah ia terpikat oleh ambisi. Ia mengkhianati Bai Lian dan ayahnya, bersekongkol dengan musuh untuk merebut kekuasaan. Bai Lian terbunuh dalam pertempuran, dan Ming Yu hidup dalam penyesalan abadi.

JANJI yang dilanggar itu telah memisahkan jiwa mereka selama seratus tahun.


Ketika kebenaran pahit itu terungkap, Lin Yue tidak marah, tidak menuntut balas. Ia hanya menatap Xuan Yi dengan tatapan yang menusuk, penuh kesedihan dan pengampunan.

"Kau memilih hidup yang benar, Ming Yu. Kau menjadi dokter yang menyelamatkan banyak nyawa. Tapi jiwamu... jiwamu tertinggal padaku," ucap Lin Yue, suaranya lembut namun penuh kekuatan.

Xuan Yi terhuyung. Kata-kata Lin Yue lebih menyakitkan dari pedang manapun. Ia merasa seperti kembali kehilangan Bai Lian, tapi kali ini, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah takdir. Dendam telah diubah menjadi keheningan, kebencian menjadi pengampunan.

Di akhir cerita, Lin Yue menghilang dari kehidupan Xuan Yi. Ia pergi ke pegunungan, mencari ketenangan dan kedamaian. Xuan Yi terus menjadi dokter, namun hatinya tetap kosong. Ia tahu, ia akan selalu dihantui oleh tatapan Bai Lian, oleh janji yang dilanggarnya, dan oleh cinta yang tidak bisa ia dapatkan kembali.

Dan di tengah malam yang sunyi, saat bunga plum berguguran di halaman rumahnya, ia mendengar bisikan lirih dari angin: "Ingatlah janji di bawah wisteria, Ming Yu..."

You Might Also Like: Kisah Populer Aku Menatapmu Berpakaian

0 Comments: