Aula Emas Istana Naga membentang tak berujung, lantai marmernya memantulkan cahaya ratusan lilin yang menari di atas pilar-pilar berukir naga. Di tengah kemegahan yang menusuk mata, Kaisar Li Wei, dengan jubah naga keemasannya, duduk di singgasana. Tatapannya tajam, menyapu barisan pejabat yang membungkuk hormat. Di balik wajah tenang itu, berkecamuk lautan intrik.
"Keputusan sudah bulat," suara Kaisar Li Wei menggema, memecah keheningan. "Putri Mahkota Lan harus menikah dengan Jenderal Agung Zhao."
Bisikan bagai desiran angin melewati barisan pejabat. Putri Mahkota Lan, bunga istana yang paling dikagumi, kini dijadikan PAJAK politik.
Di balik tirai sutra berwarna merah delima, Putri Lan berdiri. Jantungnya berdebar kencang. Dia menatap Kaisar Li Wei, pria yang dicintainya sejak kecil. Pria yang pernah berjanji untuk memberinya seluruh dunia. Tapi dunia itu, kini terasa membeku di ujung jarinya.
"Yang Mulia," suara Putri Lan terdengar nyaris seperti bisikan saat dia melangkah keluar dari balik tirai. Jubahnya berwarna biru es, kontras dengan kehangatan aula. Matanya yang biasanya berbinar, kini sedingin es yang melingkupi hatinya. "Saya menerima keputusan Yang Mulia."
Malam itu, Kaisar Li Wei menemui Putri Lan di Paviliun Bulan. Hembusan angin membawa aroma bunga plum yang pahit. Dia meraih tangannya, mencium punggung tangannya dengan lembut.
"Lan'er," bisiknya, suaranya penuh penyesalan. "Aku tahu ini sulit. Tapi ini demi kerajaan."
Putri Lan menarik tangannya. Sentuhan Kaisar terasa dingin, tak lagi menghangatkan. Dingin yang sama dengan tatapan para pejabat yang menginginkan kekuasaanku.
"Yang Mulia benar. Ini demi kerajaan," balasnya, suaranya datar. "Apakah itu juga alasan Yang Mulia menunjuk selir baru setiap bulan?"
Kaisar Li Wei terdiam. Dia tahu, CINTA mereka telah menjadi pion dalam permainan takhta. Setiap janji menjadi pedang yang siap menghunus.
Bertahun-tahun berlalu. Putri Lan, sekarang Janda Kaisar, hidup dalam bayang-bayang istana. Suaminya, Jenderal Agung Zhao, meninggal dalam pertempuran. Kekuasaan Kaisar Li Wei semakin kokoh, namun wajahnya semakin muram. Dia sering mengunjungi Paviliun Bulan, menatap kolam teratai yang kosong.
Suatu malam, saat hujan gerimis membasahi istana, Putri Lan menemui Kaisar Li Wei. Dia tersenyum, senyum elegannya yang dulu pernah membuat sang kaisar tergila-gila.
"Yang Mulia tampak lelah," ujarnya, menyodorkan secangkir teh. "Minumlah, teh ini akan membuat Yang Mulia merasa lebih baik."
Kaisar Li Wei menerima teh itu dengan ragu. "Terima kasih, Lan'er."
Dia menyesap teh itu. Rasanya pahit, namun dia tidak berkomentar. Dia menatap Putri Lan, berusaha mencari kehangatan di matanya. Tapi yang dia temukan hanyalah KEKOSONGAN.
"Aku... aku selalu mencintaimu, Lan'er," bisiknya, suaranya melemah.
Putri Lan tersenyum dingin. "Cinta adalah kemewahan, Yang Mulia. Dan kemewahan, seperti kekuasaan, bisa direbut."
Kaisar Li Wei terhuyung. Dia merasakan sakit yang membakar di dadanya. Dia mencoba meraih Putri Lan, tapi tangannya hanya meraih kehampaan.
"Kau..."
Putri Lan mendekat, membungkuk di hadapan Kaisar yang sedang sekarat. "Saya memang mencium tangan Yang Mulia," bisiknya, suaranya sedingin es. "Tapi dinginnya tak pernah hilang. Dan sekarang, dingin itu akan membekukan seluruh kerajaan Yang Mulia."
Kaisar Li Wei ambruk, matanya menatap langit-langit Paviliun Bulan. Di bibirnya, terukir senyum penyesalan yang abadi.
Di luar, hujan semakin deras. Putri Lan berdiri tegak, jubahnya berkibar tertiup angin. Balas dendamnya telah terlaksana — elegan, dingin, tapi mematikan. Kekuatan sejati tidak membutuhkan pedang, hanya kesabaran dan racun yang tepat.
Dan saat fajar menyingsing, janda itu tersenyum kepada kaisar baru yang dia ciptakan sendiri, menatapnya dengan kasih sayang yang memilukan.
You Might Also Like: I Love Confession Heres What To Do If
0 Comments: