Angin musim semi berdesir lembut di taman teratai, membawa aroma harum yang familier, menusuk hingga ke relung jiwa. Lin Yue, seorang pelukis muda yang sedang naik daun, tertegun di depan kolam yang dipenuhi bunga-bunga MERAH muda pucat. Bunga-bunga itu… terasa akrab, seolah ia pernah berenang di antara kelopaknya, seratus tahun lalu.
Ia merasakan sentuhan di bahunya. Seseorang memanggil namanya, "Lin Yue?"
Suara itu! Suara bariton yang dalam dan hangat, suara yang selalu menghantuinya dalam mimpi. Ia menoleh dan mendapati seorang pria berdiri di belakangnya. Pria itu tinggi, dengan mata setajam elang dan senyum yang menyayat hati. Namanya adalah Zhang Wei, seorang ahli waris konglomerat yang disegani, dan entah mengapa, kehadiran pria itu membuat Lin Yue merasa aman, sekaligus terancam.
Sejak pertemuan pertama mereka, Lin Yue dihantui penglihatan-penglihatan aneh. Kilasan kehidupan masa lalu yang penuh intrik, pengkhianatan, dan cinta terlarang. Ia melihat dirinya, bukan sebagai pelukis muda, tetapi sebagai selir kesayangan seorang jenderal perang yang kejam. Ia melihat Zhang Wei, bukan sebagai ahli waris konglomerat, tetapi sebagai jenderal itu sendiri.
Di kehidupan lampau, mereka terikat dalam janji abadi, janji yang dilanggar oleh dosa dan keserakahan. Jenderal itu telah mengkhianati cintanya, membunuhnya karena fitnah dan ambisi politik. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia bersumpah akan kembali dan menagih janji yang terkhianati.
Lin Yue berusaha keras menekan ingatan-ingatan itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah mimpi buruk, buah imajinasinya. Namun, Zhang Wei selalu ada di dekatnya, bagai bayangan yang tak terpisahkan. Ia selalu tahu apa yang dirasakan Lin Yue, bahkan sebelum Lin Yue sendiri menyadarinya.
Suatu malam, di bawah rembulan purnama, Zhang Wei membawanya ke sebuah kuil kuno yang terpencil. Di sana, ia menceritakan kisah yang identik dengan penglihatan-penglihatan Lin Yue. Ia mengakui dosa masa lalunya, beban yang telah dipikulnya selama seratus tahun.
"Aku tahu, Lin Yue," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku tahu apa yang kulakukan padamu. Aku tahu janji yang kubuat dan kubiarkan kau menderita sendirian."
Lin Yue menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dendam berkobar dalam hatinya, namun anehnya, yang ia rasakan lebih dominan adalah kesedihan. Kesedihan mendalam atas cinta yang hilang, atas kehidupan yang dicuri.
Ia mengangkat tangannya, bukan untuk menampar, bukan untuk mencaci, tetapi untuk memeluknya. Pelukan yang erat, pelukan yang panjang, pelukan yang mengalirkan seluruh duka dan kemarahan masa lalu.
"Aku sudah memaafkanmu," bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. "Bukan karena kau pantas dimaafkan, tetapi karena dendam hanya akan memperpanjang penderitaan kita."
Zhang Wei memeluknya lebih erat, air mata membasahi bahu Lin Yue. Ia tahu, pengampunan Lin Yue adalah hukuman yang paling berat baginya. Ia telah merenggut nyawa seorang wanita, dan sekarang, ia harus hidup dengan kenyataan bahwa wanita itu telah memilih untuk melepaskannya dari rantai masa lalu.
Lin Yue melepaskan pelukannya. Ia menatap Zhang Wei dengan tatapan tenang dan damai.
"Pergilah," ucapnya. "Jalani hidupmu. Jangan biarkan masa lalu menghantuimu lagi."
Zhang Wei mengangguk, tanpa berkata apa-apa. Ia berbalik dan berjalan menjauh, menghilang dalam kegelapan malam.
Lin Yue menatap punggungnya yang menjauh. Ia tahu, perpisahan ini adalah akhir dari satu siklus dan awal dari yang baru. Ia tidak lagi terikat pada masa lalu. Ia bebas.
Ia menoleh ke arah kolam teratai, bunga-bunga merah muda pucat itu tampak bersinar lebih terang di bawah rembulan.
Apakah kau ingat… Janji kita di bawah pohon sakura?
You Might Also Like: 0895403292432 Distributor Skincare
0 Comments: