Aku Mencintaimu Cukup Untuk Tidak Memelukmu Lagi Embun pagi merayap di kelopak sakura, serupa air mata yang enggan jatuh. Lin Yi, dengan m...

SERU! Aku Mencintaimu Cukup Untuk Tidak Memelukmu Lagi SERU! Aku Mencintaimu Cukup Untuk Tidak Memelukmu Lagi

Aku Mencintaimu Cukup Untuk Tidak Memelukmu Lagi

Embun pagi merayap di kelopak sakura, serupa air mata yang enggan jatuh. Lin Yi, dengan mata seteduh danau musim gugur, berdiri di gerbang rumah megah keluarga Zhao. Di dalam sana, Zhao Wei, cintanya, dunianya, hidup dalam kebohongan yang ia sendiri rajut. Kebohongan yang awalnya ia bangun untuk melindungi Lin Yi, namun kini menjadi dinding pemisah tak tertembus.

"Wei…" bisik Lin Yi, suaranya lenyap ditelan angin. Ia tahu, setiap langkah mendekati Zhao Wei sama dengan mengiris hatinya sendiri.

Zhao Wei, pewaris tunggal Zhao Corporation, hidup dalam gemerlap palsu. Senyumnya di pesta-pesta mewah hanya topeng. Ia terikat pada perjodohan yang ia benci, terpaksa mengikuti alur yang digariskan ayahnya yang kejam. Ia mencintai Lin Yi, sangat mencintai, namun kekuasaan dan ambisi orang tuanya mengikatnya erat.

Lin Yi tahu semuanya. Ia mencari tahu. Kebenaran menghantamnya seperti badai: Zhao Wei dijodohkan dengan putri keluarga Shen, demi menyelamatkan bisnis Zhao Corporation dari kebangkrutan. Kebenaran itu menghancurkan, tapi juga membebaskan.

"Aku tidak bisa membiarkanmu hancur bersamaku, Yi," Zhao Wei pernah berkata, menggenggam erat tangan Lin Yi di bawah rembulan. Kata-kata itu kini terdengar seperti racun manis.

Hari-hari berlalu bagai mimpi buruk yang berulang. Lin Yi melihat Zhao Wei semakin jauh, semakin tenggelam dalam kepura-puraan. Setiap senyum Zhao Wei untuk tunangannya adalah pisau yang menusuk jantung Lin Yi. Namun, Lin Yi tidak menangis. Ia belajar mengumpulkan pecahan hatinya, merajutnya kembali menjadi baju zirah.

Konflik mencapai puncaknya di malam pertunangan Zhao Wei. Lampu kristal berkilauan, gaun-gaun mewah berdesir, dan senyum palsu terpampang di mana-mana. Lin Yi muncul, bukan sebagai kekasih terbuang, melainkan sebagai seorang pengusaha muda yang berpengaruh. Ia telah menggunakan keahliannya dalam bidang teknologi untuk mengakuisisi sebagian besar saham di Shen Corporation, perusahaan yang akan bergabung dengan Zhao Corporation.

Zhao Wei menatapnya, shock dan putus asa tercampur dalam matanya. Ia mengerti, Lin Yi tidak datang untuk merusak pertunangannya, melainkan untuk mengendalikan nasibnya.

"Selamat malam, Zhao Wei," sapa Lin Yi, suaranya dingin dan formal. "Semoga Anda bahagia."

Dengan senyum yang menyimpan perpisahan abadi, Lin Yi mengumumkan penggabungan Shen Corporation dengan perusahaan miliknya. Zhao Corporation, secara teknis, sekarang berada di bawah kendalinya. Ia tidak merusak, ia mengambil alih. Balas dendam yang tenang, namun menghancurkan.

Zhao Wei terdiam, memahami bahwa Lin Yi mencintainya cukup untuk tidak memeluknya lagi, cukup untuk melepaskannya, dan cukup untuk menghancurkan dunia yang memenjarakannya.

Malam itu, di balkon yang menghadap ke taman sakura, Lin Yi berbisik pada angin, "Aku membebaskanmu, Wei. Sekarang, hiduplah dengan pilihanmu."

Dan keesokan harinya, ia menghilang, meninggalkan Zhao Wei dalam kebingungan yang abadi. Apakah Lin Yi benar-benar membebaskannya, atau justru mengikatnya pada rantai yang lebih kuat?

You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama_30

Kau Menatapku dari Kehidupan Lain, Tapi Matamu Masih Sama Panggung opera megah bergemuruh dengan tepuk tangan riuh. Gaunku satin berwarna ...

Drama Baru! Kau Menatapku Dari Kehidupan Lain, Tapi Matamu Masih Sama Drama Baru! Kau Menatapku Dari Kehidupan Lain, Tapi Matamu Masih Sama

Kau Menatapku dari Kehidupan Lain, Tapi Matamu Masih Sama

Panggung opera megah bergemuruh dengan tepuk tangan riuh. Gaunku satin berwarna emerald berkilauan di bawah sorot lampu. Aku, Lin Mei, si primadona malam ini, membungkuk anggun. Dari balkon VIP, sepasang mata menatapku. Mata itu… mata yang dulu kupuja. Mata milik Zhang Wei.

Senyumku merekah, palsu bagai berlian imitasi. Dulu, senyum ini hanya untuknya, tulus bagai embun pagi. Sekarang? Hanya topeng yang menutupi jurang dalam hatiku.

Lima tahun lalu, Zhang Wei adalah duniaku. Pelukannya terasa hangat, seperti mentari di musim semi. Tapi, mentari itu terbit untuk orang lain. Janjinya, yang dulu kuanggap abadi, berubah menjadi belati yang menusuk jantungku perlahan. Dia memilih posisi, kekuasaan, dan pewaris keluarga Liu. Dia memilih DIA.

Aku, Lin Mei, ditinggalkan di altar yang sunyi.

Aku menarik napas dalam. Opera selesai. Di belakang panggung, tatapan mata Zhang Wei masih terasa membakar punggungku. Aku bisa merasakan kehadiran pengkhianatan itu. Dulu, aku akan berlari ke arahnya, memeluknya erat. Sekarang, aku hanya mempercepat langkahku, menuju limusin yang sudah menunggu.

Malam demi malam, aku menyempurnakan penampilanku. Setiap nada, setiap gerakan, adalah simbol kebangkitanku. Aku bukan lagi Lin Mei yang rapuh. Aku adalah Lin Mei yang BERKUASA.

Aku mendengar bisikan tentang bagaimana Zhang Wei menyesal. Tentang bagaimana pernikahannya dengan pewaris Liu hambar bagai air putih. Tentang bagaimana dia merindukanku.

Ironis.

Suatu malam, aku menerima undangan makan malam pribadi dari keluarga Liu. Zhang Wei ada di sana, duduk di ujung meja, menatapku dengan tatapan yang dulu membuatku tergila-gila. Mata itu… mata yang sama. Tapi, kali ini, ada penyesalan yang terukir di sana.

Aku tersenyum padanya, senyum yang sama yang dulu dia puja. Senyum yang menipu.

Aku tidak menuntut uang. Aku tidak menuntut permintaan maaf. Aku hanya… tersenyum.

Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa perusahaan Liu bangkrut. Skandal demi skandal terkuak, mengungkap borok yang selama ini tersembunyi. Zhang Wei, sang pewaris impian, terpuruk dalam kehancuran.

Aku tidak tersenyum. Aku tidak tertawa. Aku hanya merasa… hampa.

Aku melihat Zhang Wei sekali lagi di pelelangan amal. Dia kurus, matanya cekung, dan aura ketampanannya lenyap. Dia menatapku dari kejauhan, dengan tatapan yang sama. Mata itu… mata yang masih sama. Mata yang kini dipenuhi penyesalan abadi.

Aku mengangkat gelas sampanyeku, memberi hormat diam-diam padanya. Bukan darah yang kutumpahkan, tapi penyesalan yang akan terus menghantuinya.

Aku berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Zhang Wei di kegelapan.

Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama… dan terkadang, sulit untuk membedakan keduanya.

You Might Also Like: Supplier Kosmetik Tangan Pertama_28

Kabut menggantung rendah di Pegunungan Wuyi, menyelimuti paviliun tua seperti kerudung duka. Aroma cendana bercampur dengan bau tanah basah...

Kisah Populer: Aku Hanya Teks, Tapi Luka Itu Nyata Kisah Populer: Aku Hanya Teks, Tapi Luka Itu Nyata

Kabut menggantung rendah di Pegunungan Wuyi, menyelimuti paviliun tua seperti kerudung duka. Aroma cendana bercampur dengan bau tanah basah, menciptakan suasana mistis yang membuat bulu kuduk meremang. Di tengah kabut itu, siluet seorang pria muncul. Pakaiannya lusuh, tapi tatapannya Tajam. Pria itu berjalan perlahan menuju paviliun, seolah hantu yang kembali dari masa lalu.

Di dalam paviliun, seorang wanita anggun duduk di depan meja teh. Wajahnya pucat, sorot matanya dingin. Ia adalah Nyonya Lian, janda dari mendiang Jenderal Zhao yang gugur sepuluh tahun lalu. Mendengar langkah kaki mendekat, ia mengangkat kepala.

"Zhao… Kau?" bisik Nyonya Lian, suaranya bergetar.

Pria itu tersenyum tipis. "Sepuluh tahun berlalu, Nyonya. Apakah kau merindukanku?"

"Mustahil! Jasadmu ditemukan di Lembah Seribu Mayat! Bagaimana mungkin…"

"Lembah itu menyimpan banyak rahasia, Nyonya. Termasuk bagaimana 'jasad' itu bisa ditemukan di sana," jawab pria itu, suaranya lembut namun menusuk.

Nyonya Lian berdiri, matanya berkilat marah. "Kau… kau kembali untuk apa? Untuk menuntut balas?"

Pria itu mendekat, mengelus pipi Nyonya Lian dengan lembut. "Balas dendam? Tidak, Nyonya. Aku kembali untuk menagih janji. Janji yang kau ukir di hatiku, janji tentang cinta abadi."

"Cinta? Setelah kau meninggalkanku? Setelah aku hidup dalam kesunyian dan duka selama sepuluh tahun?" Nyonya Lian menepis tangan pria itu.

"Aku tidak meninggalkanmu, Nyonya. Aku ditinggalkan. Ingatkah kau surat yang kau kirimkan kepadaku, tepat sebelum pertempuran di Lembah Seribu Mayat? Surat yang berisi permohonan maaf… karena kau telah mencintai orang lain?"

Nyonya Lian terdiam. Kabut semakin tebal di luar paviliun, mencerminkan kekacauan di benaknya.

"Aku menerima surat itu, Nyonya. Aku Menerimanya. Dan aku sadar, bahwa cinta abadi hanya ada dalam dongeng. Bahwa, terkadang, orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling pandai mengkhianati." Pria itu mendekat, berbisik di telinga Nyonya Lian. "Tahukah kau, Nyonya, bahwa surat itu adalah PERINTAH untuk mengakhiri nyawaku sendiri? Bahwa 'pertempuran' itu hanyalah sandiwara belaka?"

Nyonya Lian menatap pria itu dengan ngeri. "Kau… kau tahu?"

Pria itu tertawa pelan. "Aku memang hanya teks dalam surat itu, Nyonya. Tapi luka yang kau torehkan adalah NYATA. Dan luka itu membawaku kembali, bukan untuk membalas dendam, tapi untuk menyaksikanmu dihantui oleh kebenaran yang kau sembunyikan."

Pria itu berbalik dan berjalan menuju kabut. Sebelum menghilang, ia berbalik dan menatap Nyonya Lian dengan tatapan dingin.

"Kau pikir aku mati, Nyonya. Tapi sesungguhnya, kaulah yang mati di hari itu. Dan aku… aku hanya hidup untuk memastikan kau tidak pernah bisa melupakannya."

Nyonya Lian terpaku di tempatnya, air mata mengalir di pipinya. Akhirnya, ia mengerti. Pria yang dianggapnya korban selama ini, ternyata telah merencanakan segalanya. Ia telah memainkan peran sebagai hantu dengan sempurna, dan sekarang, ia telah berhasil menjebak Nyonya Lian dalam penjara penyesalan abadi.

Dan di balik tabir duka, di balik kabut tebal yang menyelimuti Pegunungan Wuyi, tersembunyi sebuah rahasia kelam: korban sejati tidak pernah benar-benar mati, dia hanya bersembunyi sampai saat yang tepat untuk menagih jiwa.

You Might Also Like: Unraveling Intricate Web Of Criminal

Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-Katanya Tak Mau Mati Hujan gerimis membasahi atap paviliun, sama basahnya dengan air mata yang menggena...

Drama Populer: Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-katanya Tak Mau Mati Drama Populer: Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-katanya Tak Mau Mati

Aku Membakar Perjanjian, Tapi Kata-Katanya Tak Mau Mati

Hujan gerimis membasahi atap paviliun, sama basahnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Di hadapanku, abu sisa perjanjian yang kubakar menari-nari ditiup angin malam. Perjanjian yang seharusnya mengikat takdir kita.

Aku, Lian, dan dia, Bai, tumbuh bersama di bawah naungan pohon persik yang sama. Saudara angkat, lebih dari sekadar teman, kami adalah bayangan satu sama lain. Bai, dengan senyumnya yang memikat dan kecerdasannya yang tajam, selalu selangkah di depan. Aku, dengan kesetiaanku yang buta dan pedang di tangan, selalu melindunginya.

Namun, di balik tawa dan janji setia, tersembunyi sebuah rahasia. Rahasia yang menggerogoti persahabatan kami, rahasia yang tertulis dalam perjanjian kuno yang kini menjadi abu.

"Kau yakin melakukan hal yang benar, Lian?" suara Bai memecah keheningan. Nada suaranya lembut, tapi matanya… matanya menyimpan badai yang siap meledak.

Aku menatapnya, berusaha mencari sisa-sisa Bai yang kukenal. "Perjanjian itu… adalah kutukan, Bai. Ia mengikat kita pada takdir yang bukan milik kita."

"Takdir? Atau kau hanya takut?" seringainya tipis, setajam belati. "Takut kekuatanku akan melampauimu? Takut posisimu di sisiku akan tergantikan?"

Kata-katanya bagai duri yang menghunjam jantungku. Selama ini, aku selalu menyangkalnya. Rasa iri yang diam-diam tumbuh subur di hatiku. Aku selalu berusaha menepisnya dengan alasan kesetiaan.

"Kau tahu itu tidak benar, Bai. Aku hanya ingin kita bebas!"

"Bebas? Bebas dariku?" tawanya berderai, hampa dan menyakitkan. "Kau pikir kau bisa lari dari takdir, Lian? Kau pikir dengan membakar perjanjian ini, semuanya akan berakhir?"

Malam itu, terungkaplah kebenaran yang pahit. Perjanjian itu bukan hanya sekadar janji setia, tapi sumpah darah. Bai dilahirkan dengan kekuatan terpendam, kekuatan yang seharusnya menjadi miliknya sepenuhnya. Namun, leluhurku, dengan tipu daya dan sihir terlarang, telah mencuri sebagian kekuatan itu dan membaginya denganku. Perjanjian itu adalah alat untuk menjaga keseimbangan, atau lebih tepatnya, untuk menahan Bai.

Aku, Lian, adalah pencuri. Aku adalah pengkhianat tanpa kusadari.

"Kau tahu, Lian," bisik Bai, mendekatiku. "Aku selalu menyayangimu. Kau adalah saudaraku. Tapi… kau adalah penghalangku."

Tangannya terangkat, bukan untuk memeluk, tapi untuk mencabut belati dari sarungnya. Kilatan perak memantulkan cahaya rembulan.

"Maafkan aku, Bai," ucapku lirih, air mata akhirnya tumpah. "Maafkan aku karena telah menjadi bebanmu."

Pertempuran terjadi dengan cepat dan brutal. Kami berdua sama-sama terluka, baik secara fisik maupun emosional. Di setiap tebasan pedang, di setiap desahan kesakitan, terucaplah kata-kata penyesalan, pengkhianatan, dan cinta yang terpendam.

Pada akhirnya, aku berlutut di hadapannya, pedangku patah dan tak berdaya. Bai berdiri tegak, belatinya berlumuran darah. Darahku.

"Kau tahu apa yang harus kulakukan, bukan, Lian?"

Aku mengangguk, memejamkan mata. Balas dendam adalah takdir yang tak terhindarkan. Kebenaran telah terungkap, dan aku siap menerimanya.

"Lakukanlah, Bai. Akhiri semua ini."

Hening. Hanya suara hujan yang semakin deras. Kemudian, sebuah bisikan lembut menyentuh telingaku.

"Aku memang menyayangimu, Lian. Tapi ambisiku... jauh lebih besar."


dan mungkin itu satu-satunya kebenaran yang pernah dia katakan.

You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Lokal

Aku Mencintaimu dalam Setiap Kesalahan yang Kita Sembunyikan Bunga Peony Crimson bermekaran di taman terpencil itu, persis seperti seratu...

Bikin Penasaran: Aku Mencintaimu Dalam Setiap Kesalahan Yang Kita Sembunyikan Bikin Penasaran: Aku Mencintaimu Dalam Setiap Kesalahan Yang Kita Sembunyikan

Aku Mencintaimu dalam Setiap Kesalahan yang Kita Sembunyikan

Bunga Peony Crimson bermekaran di taman terpencil itu, persis seperti seratus tahun lalu. Aroma manisnya menusuk indra, membawa Chen Mei, seorang pelukis muda, ke pusaran ingatan yang bukan miliknya. Ingatan tentang ciuman terlarang di bawah rembulan, janji yang diucapkan di tengah badai, dan pengkhianatan yang membekas abadi.

Ia menatap lukisan yang sedang dikerjakannya: seorang pria dengan mata setajam elang, senyum yang menyimpan sejuta rahasia. Ia TAK mengenalnya. Namun, hatinya berdebar keras setiap kali goresan kuasnya membentuk wajah itu.

Di sisi lain kota, berdiri Li Wei, seorang pengusaha sukses yang dingin dan tak tersentuh. Setiap malam, ia bermimpi tentang seorang wanita dengan rambut sehitam malam, mata yang menyimpan samudera kesedihan. Ia MENDENGAR suaranya memanggilnya, suara yang merdu namun penuh derita.

"Wei..."

Mereka bertemu di sebuah galeri seni. Mata Chen Mei dan Li Wei terkunci. Waktu seolah berhenti. Mereka MERASAKAN getaran aneh, rasa familiar yang menusuk tulang. Seolah mereka telah saling mengenal selama ribuan tahun.

"Maaf, apa kita pernah bertemu?" tanya Li Wei, suaranya bergetar.

Chen Mei menggeleng, namun bibirnya bergetar. "Rasanya... seperti aku mengenalmu selamanya."

Dimulailah perjalanan mereka menelusuri jejak masa lalu. Mimpi-mimpi aneh, deja vu yang intens, dan petunjuk-petunjuk tersembunyi membawa mereka kembali ke era Dinasti Ming. Mereka menemukan kisah cinta terlarang antara seorang putri bangsawan (Chen Mei di kehidupan sebelumnya) dan seorang jenderal pemberontak (Li Wei di kehidupan sebelumnya).

Cinta mereka membara di tengah intrik istana dan peperangan. Namun, sebuah pengkhianatan keji mengakhiri segalanya. Li Wei dijebak dan dieksekusi, dituduh mengkhianati kerajaan. Putri itu, putus asa dan sarat penyesalan, memilih bunuh diri. Mereka berjanji untuk bertemu kembali di kehidupan selanjutnya, MESKI dosa masa lalu menghantui mereka.

Kebenaran pahit akhirnya terungkap. Pengkhianatan itu diatur oleh orang terdekat mereka: adik sang putri, yang mencintai Li Wei secara obsesif. Demi mendapatkan cintanya, ia menghancurkan segalanya.

Kini, di kehidupan ini, adik sang putri menjelma menjadi sosok yang kuat dan berpengaruh. Ia sadar akan reinkarnasi Chen Mei dan Li Wei, dan ia BERUSAHA untuk memisahkan mereka kembali.

Namun, cinta takdir tak bisa dihentikan. Chen Mei dan Li Wei menyadari bahwa dendam bukanlah jawaban. Mereka memilih jalan pengampunan. Mereka membiarkan keheningan berbicara, membiarkan kesadaran akan dosa masa lalu menghantui si pengkhianat.

Di penghujung cerita, Chen Mei dan Li Wei berdiri di bawah Bulan Purnama, di taman bunga peony crimson. Mereka saling berpegangan tangan, TATAPAN mereka mengandung kedamaian dan penerimaan.

"Wei..." bisik Chen Mei.

Li Wei tersenyum lembut. "Aku mengingat semuanya, Mei. SEMUA. Dan aku tetap mencintaimu, dalam setiap kesalahan yang kita sembunyikan..."

Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga peony crimson dan bisikan dari kehidupan sebelumnya: "...Jangan lupakan janjimu, sampai maut memisahkan kita..."

You Might Also Like: Rahasia Rekomendasi Skincare Lokal

Hujan kota Jakarta sore itu berderai, memburamkan lampu-lampu gedung pencakar langit. Di balik jendela kafe yang beruap aroma kopi, Anya me...

Cerita Seru: Racun Yang Mengikat Jantungku Cerita Seru: Racun Yang Mengikat Jantungku

Hujan kota Jakarta sore itu berderai, memburamkan lampu-lampu gedung pencakar langit. Di balik jendela kafe yang beruap aroma kopi, Anya menatap layar ponselnya. Notifikasi yang ditunggu tak kunjung muncul. Sejak tiga bulan lalu, chat terakhirnya dengan Rayhan hanya berbekas centang biru, tanpa balasan.

Dulu, notifikasi dari Rayhan adalah denyut jantungnya. Setiap pesan darinya adalah melodi yang menari di antara kesibukan Anya sebagai seorang graphic designer. Mereka bertemu di dunia maya, di forum penggemar novel fantasi. Cinta mereka tumbuh di antara komentar-komentar iseng, obrolan larut malam, dan mimpi-mimpi tentang dunia yang dipenuhi naga dan sihir.

Rayhan, seorang arsitek muda yang idealis, melengkapi Anya. Ia melihat sisi melankolis Anya, luka-luka masa lalu yang Anya sembunyikan di balik senyum cerianya. Rayhan adalah obat penenang yang tak pernah Anya sadari ia butuhkan.

Lalu, tiba-tiba, semuanya lenyap.

Seperti bangunan yang runtuh diguncang gempa, Rayhan menghilang tanpa jejak. Nomor ponselnya tak aktif, akun media sosialnya lenyap. Anya mencoba mencari tahu, namun tak seorang pun tahu keberadaannya. Seolah Rayhan hanya ilusi, bayangan yang diciptakan oleh kesendirian Anya.

Anya berulang kali membaca sisa chat mereka. Kata-kata Rayhan terasa seperti racun yang mengikat jantungnya. "Anya, kamu adalah bintang di langitku," tulis Rayhan suatu malam. "Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."

Kebohongan manis.

Anya tahu ada sesuatu yang disembunyikan Rayhan. Ada misteri di balik senyum hangatnya, ada rahasia di balik janji-janjinya. Perasaan kehilangan yang samar itu berubah menjadi kemarahan yang membara.

Suatu malam, Anya menemukan sebuah folder tersembunyi di laptop Rayhan. Folder itu berisi foto-foto seorang wanita, seorang wanita yang sangat mirip dengan Anya, namun dengan tatapan yang lebih dingin, lebih tajam. Wanita itu adalah Riana, saudara kembar Anya yang telah lama menghilang.

RAHASIA TERUNGKAP.

Rayhan mencintai Riana, bukan Anya. Ia hanya melihat pantulan Riana dalam diri Anya. Ia hanya ingin menyembuhkan lukanya dengan mendekati Anya. Anya adalah pengganti, bayangan yang tak sempurna.

Anya merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Cinta yang ia kira tulus, ternyata hanya kebohongan yang diselimuti kepalsuan.

Anya menggenggam ponselnya erat-erat. Jari-jarinya menari di atas layar, menyusun sebuah pesan. Sebuah pesan yang telah lama ia simpan dalam hatinya.

Untuk Rayhan:

"Terima kasih telah menunjukkan padaku betapa mudahnya seseorang bisa menghancurkanmu. Aku tidak akan membalas dendam dengan cara yang sama. Aku akan membalas dendam dengan melupakanmu."

Anya menekan tombol kirim. Pesan itu terkirim, menembus kegelapan dunia maya, mencapai entah ke mana.

Anya bangkit dari kursinya, meninggalkan kafe yang beraroma kenangan pahit. Ia melangkah keluar, menerobos hujan kota Jakarta.

Ia tersenyum tipis. Senyum yang dingin, senyum yang pahit, senyum yang mematikan.

Ia akan memulai hidup baru, tanpa Rayhan, tanpa Riana, tanpa bayangan masa lalu.

Ia menutup babak ini dengan keheningan.

Dan di ujung jalan, ia menghilang, meninggalkan tanya yang menggantung di udara...

You Might Also Like: Agen Kosmetik Usaha Sampingan Online_23

Hujan menggigil, persis seperti malam itu, lima tahun lalu. Mei Lin berdiri di bawah atap pagoda tua, bayangan dirinya terpantul patah di g...

Kau Bilang Waktu Akan Menyembuhkan, Tapi Waktu Justru Menertawakan Kau Bilang Waktu Akan Menyembuhkan, Tapi Waktu Justru Menertawakan

Hujan menggigil, persis seperti malam itu, lima tahun lalu. Mei Lin berdiri di bawah atap pagoda tua, bayangan dirinya terpantul patah di genangan air. Aroma tanah basah membawa kembali ingatan tentang tangan hangat Han Wei, senyumnya yang dulu mampu membuat musim semi bersemi di hatinya. Dulu.

"Kau bilang waktu akan menyembuhkan, tapi waktu justru MENERTAWAKAN," bisiknya, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. Kata-kata itu, mantra pahit yang selalu ia ulang-ulang setiap kali rasa sakit itu menyeruak.

Han Wei. Nama itu bagai duri yang menghujam jantungnya. Ia ingat jelas malam itu. Malam pengkhianatan. Malam di mana semua kepercayaan dan cinta yang ia berikan hancur lebur di bawah cahaya rembulan yang kejam. Ia melihatnya, bersama wanita itu, di bawah pohon sakura yang sedang mekar sempurna. Sakura, simbol cinta abadi. Betapa ironis.

Lima tahun. Lima tahun ia berusaha mengubur dirinya dalam kesibukan, dalam ambisi yang membara. Ia membangun kerajaan bisnisnya dari nol, dengan tangan berdarah-darah dan hati yang membeku. Semua, untuk melupakan Han Wei. Tapi bayangannya selalu hadir, mengejek, menertawakan kebodohannya.

Sesosok pria mendekat, siluetnya samar di bawah keremangan lentera yang cahayanya nyaris padam. Itu Han Wei. Wajahnya menua, guratan penyesalan terpahat jelas di sana.

"Mei Lin..." Suaranya serak, penuh kerinduan.

Mei Lin menatapnya dingin. Matanya, dulu dipenuhi cinta dan kekaguman, kini hanya memancarkan kebencian yang membara.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya, suaranya setajam belati.

Han Wei menghela napas. "Aku... aku ingin meminta maaf. Aku tahu, aku telah menyakitimu. Tapi, percayalah, aku menyesalinya."

Mei Lin tertawa sinis. "Menyesal? MENYESAL katamu? Setelah lima tahun? Setelah kau menghancurkan hidupku?"

Ia melangkah mendekat, aroma parfumnya yang mahal menguar di udara. Ia menatap Han Wei tepat di matanya.

"Kau tahu, Han Wei, kau benar. Waktu memang tidak menyembuhkan. Waktu hanya memberiku kesempatan untuk merencanakan sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada rasa sakit yang kau berikan padaku."

Han Wei mundur selangkah. "Apa maksudmu?"

Mei Lin tersenyum, senyum yang tidak mencapai matanya. Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan sebuah cincin yang berkilau di bawah cahaya lentera. Cincin itu familiar. Sangat familiar. Cincin yang dulu diberikan wanita itu kepada Han Wei.

"Tahukah kau, Han Wei... WANITA ITU, DIA ADALAH ADIKKU."

You Might Also Like: 127 Review Sunscreen Lokal Ringan Cocok